Part:3 Hizbullah Syihab Pejuang Terakhir

Aku memasang wajah cemberut, aku sudah siap dengan langkah seribu kalau Hizbullah mendekati meja makan siangku.
Entah kenapa, aku benci sekali melihat wajahnya itu. Kalau aku pikir-pikir, tidak ada alasannya. Hanya geram saja.
"Wajah polos dan lugu seperti itu bisa apa di dunia jurnalistik!" Batinku bersuara.
Ujung mataku terus mengekor derap langkah kakinya, aku sudah siap menggenjot engsel lututku kalau dia duduk satu meja denganku.
Akhirnya aku menemukan jawabannya, dia memilih meja lain yang cukup jauh dengan meja makan siangku.
Syukurlah!

Hari ini Bapak Pimpinan mengadakan rapat redaksi mendadak, semua wartawan tabloid cakrawala diminta merapat di ruang.
Tak terkecuali aku dan Hizbullah.
Sebenarnya aku baru saja hendak menghabiskan waktu dengan menyeruput eskrim, tapi niat itu buyar seketika.
Bapak mengevaluasi tahapan kinerja liputan kami di lapangan, apa yang harus ditambah, dikurangi atau bahkan mengoreksi kinerja kami satu persatu. Hingga sampai giliranku, aku menjawab sekenanya. Jujur saja, liputanku tidak maksimal. Aku lelah sekali belakangan ini.
"Fokus, Ai!" Tiba-tiba suara Bapak menyentak pikiran melamunku.
"Ba-baik, Pak," jawabku gelagapan.
Rapat redaksi siang ini ditutup dengan ancaman besok sore setiap liputan lapangan harus sudah terkumpul dan terketik rapi dan siap diperiksa editor.
Fiuuh! Baiklah, ini tantangan!

"Ehm!" Sebuah suara berdeham di belakang tubuhku memecah kebisuan.
"Hai, apa akhir-akhir ini kau lelah, Ai?" Suara ramah punya Hizbullah.

Agh, dia lagi!

Komentar

Postingan Populer