Part: 2 || Hizbullah Syihab Pejuang Terakhir

Aku heran, apa yang sedang dilakukan oleh Hizbullah. Dia terus saja menyeka keringatnya, padahal kami sedang berada di ruang ber-ac.
"Tenanglah, jangan gugup seperti itu. Ini hanya press comference biasa, semua awak media ada di sini. Fokus dan tenanglah, atau kau akan menjadi pusat perhatian," Bisikku dengan nada gemas tingkat dewa kepada Hizbullah.
Dia mencoba untuk memelankan tarikan nafas dan mengatur perlahan ritme nafasnya, degup jantungnya bahkan mungkin ikut berdetak perlahan.

Hizbullah menyusul langkahku dengan cepat selagi aku turun tangga.
"Ai, tunggu!" Hizbullah berteriak sangat kencang, "Ya Tuhan! Apa yang dia lakukan?!" Gumamku marah.
Heran.
Magnet apa yang menjadikanku dengannya selalu harus marah. Dan, ya! Dia memanggilku, Ai?
Kapan dia menjadi sok akrab?

"Berhenti, Hizb! Jangan pernah panggil namaku dengan Ai, ingat itu baik-baik!"
Nafasku naik turun, emosiku menggelegak lagi.
Dia berdiri di tempatnya.
"Tapi, apa masalahnya? Semua orang memanggilmu dengan Ai?" Belanya
Aku menelan ludah,
"Memang, semua orang dan awak media memanggilku dengan Ai, tapi aku beritahu, jangan merasa sok akrab denganku. Jangan! Aku tidak suka bergaul denganmu!"
Aku berjalan cepat menuruni anak tangga yang payah.
Hizbullah berdiri di tempatnya, diam.

**
"Airina," Tegur Pak Pimpinan Tabloid.
Aku menoleh, "Iya, Pak,"
"Dimana Hizbullah?"
Aku harus jawab apa? Aku celingukan di setiap sisi, dia tidak ada.
"Maaf, Pak. Aku tidak tahu," Jawabku santai.
"Bukankah tadi kamu bareng pergi press conference?" Tanyanya heran.
"Iya, benar Pak. Tapi, aku tidak tahu dimana dia sekarang," Ucapku santai. Semoga saja Bapak tidak memintaku untuk mencarinya.
Bapak menghela nafas.
"Coba kamu hubungi dia?" Ucap Bapak kemudian.
Apa?! Kuadrat gawat? Bapak memintaku untuk menghubungi Hizbullah? Ogah banget, tengsin dong!
"Nggg...tapi, Pak. Pulsa hpku habis," Aku menemukan alasan brilian secara tiba-tiba.
"Baiklah, kembali ke ruangmu,"

Komentar

Postingan Populer